Kode sumberVideo

Gejolak Politik Menjelang Pilkada: Politik dalam Kekacauan, Rakyat Berteriak

Anomali politik di Indonesia saat mempersiapkan Pilkada 2024.

Shifna Zihdatal Haq

27 Oct, 2024

Politik

Manuver Politik Sejak Pilpres, Akankah Berlanjut Hingga Pilkada 2024?

Pemerintahan rakyat, yang biasa disebut demokrasi, dipandang sebagai sistem yang menjunjung tinggi kesetaraan hak dan tanggung jawab bagi semua warga negara. Sistem politik demokratis ditegakkan melalui pemilihan umum. Pemilu diadakan untuk mencapai kedaulatan rakyat dan menerapkan prinsip serta nilai-nilai demokrasi. Selain itu, pemilu dapat meningkatkan kesadaran politik dan mendorong partisipasi aktif dalam mewujudkan aspirasi demokratis masyarakat Indonesia (Yusuf et al., 2024). Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem demokrasi di mana pemimpin dan wakil rakyat dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pemilu diadakan secara serentak setiap 5 tahun, termasuk pemilihan Presiden, Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pemilihan Presiden 2024 telah dilaksanakan pada Februari 2024. Salah satu isu paling kontroversial dalam pemilu ini adalah kelayakan Gibran sebagai calon wakil presiden. Gibran, putra Presiden Joko Widodo, masih berusia di bawah 40 tahun saat dicalonkan. Situasi ini memicu perselisihan politik dan hukum di masyarakat. Secara keseluruhan, perdebatan tentang persyaratan usia minimal untuk calon wakil presiden menyoroti pentingnya integritas hukum dan transparansi dalam proses politik. Keputusan politik harus selalu didasarkan pada konstitusi dan kepentingan publik, bukan kepentingan individu atau kelompok. Dengan demikian, demokrasi Indonesia dapat terus tumbuh dan mempertahankan kepercayaan rakyatnya (Sulistyowati et al., 2024).

Titik balik krusial dalam perjalanan demokrasi Indonesia terjadi selama Pemilihan Presiden 2024. Hal ini disebabkan oleh dinamika intens menjelang Pilkada 2024. Presiden Jokowi, sebagai presiden petahana, telah banyak disorot selama tahun politik ini. Istilah "presidensi bayangan" sering dikaitkan dengan Jokowi pada masa ini, mengacu pada manuver politik yang menempatkan posisi strategis di tangan tokoh-tokoh kunci dan memberikan sinyal dukungan untuk kandidat tertentu. Menurut pengamat politik, meskipun Jokowi secara konstitusional tidak dapat mencalonkan diri lagi, ia tetap menjadi tokoh sentral dalam arena politik (Fieda, 2023). Selain isu presidensi bayangan, berbagai kontroversi telah muncul menjelang Pilkada 2024, yang berasal dari elit politik dan ekosistem politik digital. Berbagai media telah mengonstruksi dan melaporkan isu-isu ini, yang muncul dari berbagai kubu. Isu-isu tersebut berkisar dari "cawe-cawe" (campur tangan) Presiden Jokowi dari Pilpres hingga Pilkada, diikuti dengan klaim intervensi istana untuk mendukung kandidat tertentu, politik dinasti, dan keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi tentang batas usia untuk kandidat presiden dan wakil presiden (Mudjiyanto et al., 2024). Baru-baru ini, juga telah muncul diskusi luas tentang dugaan manipulasi putusan Mahkamah Konstitusi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tuduhan kandidat boneka, skenario kandidat independen, kecurigaan tentang koalisi mega, konflik antara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan semua partai politik lainnya, serta berbagai plot twist lainnya yang muncul menjelang Pilkada 2024.

Mahkamah Konstitusi: Game Changer Menjelang Pesta Demokrasi

Mahkamah Konstitusi kembali menggemparkan setelah melakukan perubahan menjelang Pilkada 2024. Sekali lagi bertindak sebagai pembuat perubahan besar, setelah keputusannya mengenai batas usia untuk kandidat presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2024, Mahkamah Konstitusi kini telah mengeluarkan pernyataan baru yang tampaknya lebih menguntungkan rakyat dibandingkan keputusan sebelumnya pada Pilpres 2024. Mahkamah mengeluarkan beberapa putusan penting pada 20 Agustus 2024, tepat satu minggu sebelum pendaftaran calon kepala daerah dibuka di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dua isu utama yang disoroti adalah perubahan ambang batas pencalonan untuk kandidat kepala daerah, yang akan disejajarkan dengan kandidat independen, dan diskusi mengenai persyaratan usia minimal untuk kandidat kepala daerah (Mantelan & Ramadhan, 2024).

Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa ambang batas pencalonan untuk kandidat kepala daerah akan disamakan dengan ambang batas untuk kandidat independen. Keputusan ini didasarkan pada fakta bahwa ambang batas sebelumnya sebesar 20% kursi DPRD atau 25% suara tidak memberikan kesempatan yang cukup bagi warga negara untuk berpartisipasi melalui partai politik dengan ambang batas di bawah batas tersebut. Selain itu, regulasi tersebut tidak lagi sejalan dengan amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang menghendaki pemilihan daerah yang demokratis. Ini berarti kesempatan seluas-luasnya harus diberikan bagi partai politik dengan suara sah untuk mencalonkan kandidat kepala daerah (Amril, 2024).

Perubahan aturan Mahkamah Konstitusi mengenai regulasi pilkada diyakini menjadi alasan Presiden Jokowi mengirim surat kepada DPR untuk mengadakan pertemuan tentang rancangan undang-undang (RUU) baru mengenai pilkada. Hal ini terkait dengan isu pencalonan Kaesang dalam Pilkada 2024. Putusan baru Mahkamah menciptakan hambatan bagi Kaesang untuk maju dalam pemilihan 2024. Pembahasan RUU baru bertujuan untuk menciptakan undang-undang baru yang dapat membatalkan atau memodifikasi putusan Mahkamah Konstitusi yang baru ditetapkan. Menurut Pasal 24C ayat 1 UUD 1945, keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat bagi semua orang, termasuk DPR, presiden, pemerintah, dan peradilan. Jika keputusan ini dapat dibatalkan, itu akan menandakan anomali hukum di negara ini, dan rakyat mungkin akan menentangnya (BBC, 2024).

Dugaan campur tangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi oleh DPR semakin memanas dengan munculnya tagar #KawalPutusanMK, yang menunjukkan bahwa publik juga marah dengan situasi ini. Tampaknya demokrasi sedang dibongkar demi kepentingan satu keluarga, memicu postingan luas "Peringatan Darurat" di berbagai platform media sosial. Selain itu, isu-isu seperti korupsi, kenaikan harga makanan, dan nepotisme juga disuarakan dalam postingan ini. Postingan "Peringatan Darurat" menjadi viral setelah Badan Legislasi (Baleg) DPR mengadakan pertemuan untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pilkada pada 21 Agustus 2024 (Novi, 2024). Demonstrasi setelah meningkatnya postingan "Peringatan Darurat" juga menandai masa menjelang Pilkada 2024. Apa yang akan menjadi hasilnya? Akankah rakyat sekali lagi menjadi korban demi keuntungan segelintir orang?

Hasil Akhir dari "Pembajakan" Keputusan Mahkamah Konstitusi

Sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusannya tentang regulasi ambang batas dan batas usia, DPR menyatakan ketidaksetujuannya dengan cepat menyetujui revisi Undang-Undang Pilkada dalam sidang dipercepat di Badan Legislasi DPR. Langkah ini dipandang sebagai bentuk "pembangkangan" terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi, yang bertujuan menciptakan demokrasi bayangan untuk kepentingan elit. Untuk lebih menjelaskan perdebatan antara keputusan DPR dan putusan Mahkamah Konstitusi, tabel berikut menguraikan perbedaan antara keduanya:

Perbedaan putusan Pilkada menurut Undang-Undang Pilkada, Mahkamah Konstitusi, dan DPR
Kategori RegulasiUndang-Undang PemiluKeputusan Mahkamah KonstitusiKeputusan DPR
Ambang Batas Pencalonan20% kursi DPRD atau 25% suara sah6,5%-10% berdasarkan populasiHanya berlaku untuk partai tanpa kursi DPRD
Persyaratan Usia GubernurMinimal 30 tahunMinimal 30 tahun saat terdaftar sebagai calonMinimal 30 tahun saat dilantik
Persyaratan Usia Bupati/WalikotaMinimal 25 tahunMinimal 25 tahun saat terdaftar sebagai calonMinimal 25 tahun saat dilantik

Perbedaan antara ketiganya memberikan beberapa kesepakatan sebagai hasil akhir dari masalah ini. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah secara resmi menyetujui revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait pilkada 2024, mengakomodasi keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas partai dalam pencalonan kepala daerah dan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang persyaratan usia kandidat kepala daerah (BBC, 2024). Keduanya diakomodasi sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi dalam persetujuan DPR terhadap PKPU untuk pilkada, sebagaimana dirangkum dalam siaran rapat DPR (BeritaSatu, 2024).

Ambang Batas Partai dalam Pencalonan Kepala Daerah

Terdapat perubahan dalam Pasal 11 Ayat (1) PKPU Nomor 8 Tahun 2024, yang menyatakan bahwa Partai Politik atau Koalisi Partai Politik dapat mendaftarkan Calon jika telah memperoleh minimal 20% kursi DPRD atau 25% dari total suara sah dalam pemilihan DPRD di wilayah terkait. Ayat pertama Pasal 11 telah diubah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang menyatakan bahwa Partai Politik atau Koalisi Partai Politik dapat mendaftarkan Calon jika memenuhi persyaratan akumulasi suara sah dalam pemilihan DPRD di wilayah terkait dengan ketentuan sebagai berikut:

Untuk mengusulkan calon gubernur dan wakil gubernur

  • Provinsi dengan pemilih terdaftar hingga dua juta, partai politik, atau koalisi partai politik harus memperoleh minimal 10% suara sah di provinsi tersebut.
  • Provinsi dengan pemilih terdaftar lebih dari dua juta hingga enam juta, partai politik, atau koalisi partai politik harus memperoleh minimal 8,5% suara sah di provinsi tersebut.
  • Provinsi dengan pemilih terdaftar lebih dari enam juta hingga dua belas juta, partai politik, atau koalisi partai politik harus memperoleh minimal 7,5% suara sah di provinsi tersebut.
  • Provinsi dengan pemilih terdaftar lebih dari dua belas juta, partai politik, atau koalisi partai politik harus memperoleh minimal 6,5% suara sah di provinsi tersebut.

Untuk mengusulkan calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota

  • Kabupaten/kota dengan pemilih terdaftar hingga 250.000, partai politik, atau koalisi partai politik harus memperoleh minimal 10% suara sah di kabupaten/kota tersebut.
  • Kabupaten/kota dengan pemilih terdaftar lebih dari 250.000 hingga 500.000, partai politik, atau koalisi partai politik harus memperoleh minimal 8,5% suara sah di kabupaten/kota tersebut.
  • Kabupaten/kota dengan pemilih terdaftar lebih dari 500.000 hingga satu juta, partai politik, atau koalisi partai politik harus memperoleh minimal 7,5% suara sah di kabupaten/kota tersebut.
  • Kabupaten/kota dengan pemilih terdaftar lebih dari satu juta, partai politik, atau koalisi partai politik harus memperoleh minimal 6,5% suara sah di kabupaten/kota tersebut.

Penetapan Usia Calon Kepala Daerah

Mengenai persyaratan usia untuk calon kepala daerah, Pasal 15 PKPU Nomor 8 Tahun 2024 menetapkan bahwa usia minimal untuk calon terpilih harus 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur, 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati, dan 30 tahun untuk calon walikota dan wakil walikota, sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 Ayat (2) huruf d, berlaku sejak pelantikan calon terpilih. Amandemen tersebut menetapkan bahwa persyaratan usia minimal adalah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota, sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 Ayat (2) huruf d, berlaku sejak penetapan calon.

Beberapa Nama Ditarik dari Pencalonan: Apa Strategi Partai Politik?

Pilkada 2024 cukup penuh gejolak bagi politik Indonesia. Menjelang November 2024, politik Indonesia semakin dinamis. Berbagai keputusan mengenai pencalonan semakin memanas. Naik turunnya kandidat menunjukkan bahwa strategi politik dikelola secara menyeluruh oleh setiap partai politik dalam menghadapi kontestasi Pilkada 2024. Beberapa plot twist membuat publik bertanya-tanya apa tujuan sebenarnya. Dimulai dengan pengunduran diri Anies Baswedan dan Ahok, yang diharapkan didukung oleh partai PDIP setelah mendapat dorongan dari keputusan Mahkamah Konstitusi tentang ambang batas. Namun, nama lain muncul dalam pencalonan kandidat gubernur Jakarta dari fraksi PDIP, yaitu Pramono-Rano Karno. Menurut ketua PDIP, pemilihan Pramono Anung untuk pemilihan gubernur Jakarta di tengah nama-nama menonjol Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dipandang sebagai kompromi. Basis dukungan Ahok dan Anies dianggap sangat berbeda dan sulit dipertemukan, sehingga Pramono-Rano Karno dipandang sebagai jalan tengah untuk menyatukan kedua basis dukungan ini (Randita, 2024).

Selain Anies Baswedan, yang cukup populer dari pemilihan presiden 2024 hingga pilkada ini, nama Airin juga menjadi topik diskusi ketika Golkar memutuskan untuk mendukung Airin-Ade pada 27 Agustus 2024. Sehari sebelumnya, Airin secara resmi didukung oleh PDI Perjuangan untuk pemilihan gubernur Banten pada 2024. Airin menerima surat rekomendasi langsung dari ketua PDIP Megawati di kantor DPP PDIP. Di sisi lain, Golkar sebelumnya telah mendukung Andra Soni-Dimyati Natakusumah sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Banten. Perubahan cepat dalam pencalonan menunjukkan bahwa strategi setiap partai politik terus berkembang hingga periode pendaftaran untuk pilkada berakhir. Selain perubahan dalam pencalonan kandidat, pengunduran diri di beberapa daerah juga terjadi, seperti Dico Ganinduto yang ditarik oleh Golkar dari pemilihan walikota Semarang, Gusti Bhre yang tiba-tiba mengundurkan diri dari kontestasi Solo, dan pasangan Ahmad Riza Patria-Marshel Widianto yang juga mengundurkan diri dari pemilihan walikota Tangerang Selatan. Berbagai plot twist menjelang pilkada dibahas dalam podcast berjudul Pilkada Endgame (Metro TV, 2024). Apa implikasi dari semua ini?